TAK ada yang menyangkal, tiga belas tahun perjalanan reformasi TNI (1998-2011) telah banyak capaian dalam konteks relasi sipil-militer yang lebih senapas dengan tuntutan demokrasi, di antaranya pengakuan TNI atas supremasi sipil, jaminan netralitas TNI dalam politik praktis, atau komitmen politik TNI untuk tidak berafiliasi dengan parpol tertentu.
Namun, kita juga tak bisa menutupi, masih terdapat berbagai proses terkait komitmen TNI dalam konteks supremasi sipil, khususnya penegakan hukum atas penyelesaian berbagai kasus pelanggaran HAM yang ditengarai melibatkan TNI, seperti kasus penculikan aktivis, kasus Trisakti, kasus Talangsari, kasus Tanjung Priok, dan berbagai kasus lainnya.
Penegakan hukum sebagai bagian dari tradisi demokratis adalah perkara penting dalam mewujudkan militer profesional. Untuk kasus ini, kita mesti belajar dari Venezuela.
Di Venezuela sebagian unsur militer justru menjadi agen perubahan dan demokrasi yang sangat penting. Meski rakyat sipil (civil society) tetap menjadi ujung tombak demokrasi, namun para prajurit di negeri Hugo Chavez ini dikenal sebagai penjaga tradisi demokrasi.
Meski 36 persen penduduk Venezuela berpendapatan kurang dari 1 dolar/hari, Venezuela tersohor sebagai negeri yang tradisi demokrasi liberalnya paling kuat di Amerika Latin.
Dalam Understanding the Venezuelan Revolution (Monthly Review Press, 2005), Marta Harnecker menunjukkan, faktor penting yang menginisasi karakter demokrasi di tubuh militer Venezuela adalah pendidikan dan penguatan tradisi demokrasi yang diajarkan di Akademi Militer Venezuela, sejak negeri ini lepas dari penjajahan Spanyol.
Hal ini sangat berbeda dengan tradisi militer Indonesia. Cikal bakal TNI adalah pasukan-pasukan yang didirikan oleh kekuatan kolonial Belanda (KNIL) dan fasisme Jepang (PETA). Setelah program rasionalisasi tahun 1948, kedua warisan tradisi militer kolonial di atas kental terbawa hingga era Orde Baru.
Menurut Dita Indah Sari (2005), di samping intervensi politik, keterlibatan militer dalam bidang ekonomi, terutama sejak Presiden Soekarno menasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda di tahun 1957 (yang dikenal sebagai ‘Politik Benteng’), telah membuat sejumlah perwira TNI bertransformasi menjadi kapitalis bersenjata.
Kondisi ini tentu berperan penting dalam menghambat transformasi karakter positif ‘doktrin tentara pejuang’ yang diwariskan oleh revolusi nasional dalam tubuh TNI.
Berbeda dengan Venezuela, demokrasi liberal di Indonesia dalam sejarahnya tidak pernah menjadi tradisi dan prinsip politik dominan dalam kehidupan TNI.
Kekuatan-kekuatan sipil yang tampil dalam berbagai bentuk politik aliran dalam periode pasca kemerdekaan, menemui ajalnya di tahun 1965. Ruang politik bagi oposisi disumbat rapat, yang hanya mampu dijebol 32 tahun kemudian.
Reaksi balik yang drastis terhadap tentara pascajatuhnya Soeharto sedikit banyak telah memaksa TNI untuk melakukan koreksi atas doktrin dan praktiknya selama ini.
Namun proses ini selalu terhambat oleh keengganan para politisi sipil untuk menuntaskan problem-problem besar masa lalu yang bisa menjadi refleksi bagi agenda reformasi TNI.
Menurut Harnecker, pengaruh gagasan Simon Bolivar dalam pemikiran militer Venezuela amat kuat. Bolivar adalah tokoh yang paling legendaris dalam sejarah perjuangan rakyat Amerika Latin melawan kolonialisme Spanyol.
Bolivar selalu menyeru kepada militer dan rakyatnya tentang pentingnya persatuan Amerika Latin dalam melawan kolonialisme Eropa dan Amerika, dan mayakini bahwa demokrasi adalah sistem politik yang dapat memberi kebahagiaan tertinggi kepada rakyat.
Pejuang legendaris Amerika Latin ini juga menekankan, tidak boleh ada militer yang ingin menggunakan senjatanya untuk menentang rakyat. Gagasan ini, hingga kini masih dipegang teguh oleh militer Venezuela.
Seperti Bolivar, Panglima Besar Jenderal Sudirman sesungguhnya juga telah meletakkan fondasi kokoh bagi TNI sebagai tentara rakyat dan alat negara; sebuah doktrin penting yang menjadi dasar bagi pembentukan militer profesional yang menghormati prinisp demokrasi dan supremasi sipil.
Pengalaman Venezuela (dan Indonesia di masa revolusi) memberi kesimpulan pada kita, reformasi militer sangat bergantung pada seberapa besar demokrasi dihormati oleh semua pihak, termasuk oleh tentara.
Namun, kita juga tak bisa menutupi, masih terdapat berbagai proses terkait komitmen TNI dalam konteks supremasi sipil, khususnya penegakan hukum atas penyelesaian berbagai kasus pelanggaran HAM yang ditengarai melibatkan TNI, seperti kasus penculikan aktivis, kasus Trisakti, kasus Talangsari, kasus Tanjung Priok, dan berbagai kasus lainnya.
Penegakan hukum sebagai bagian dari tradisi demokratis adalah perkara penting dalam mewujudkan militer profesional. Untuk kasus ini, kita mesti belajar dari Venezuela.
Di Venezuela sebagian unsur militer justru menjadi agen perubahan dan demokrasi yang sangat penting. Meski rakyat sipil (civil society) tetap menjadi ujung tombak demokrasi, namun para prajurit di negeri Hugo Chavez ini dikenal sebagai penjaga tradisi demokrasi.
Meski 36 persen penduduk Venezuela berpendapatan kurang dari 1 dolar/hari, Venezuela tersohor sebagai negeri yang tradisi demokrasi liberalnya paling kuat di Amerika Latin.
Dalam Understanding the Venezuelan Revolution (Monthly Review Press, 2005), Marta Harnecker menunjukkan, faktor penting yang menginisasi karakter demokrasi di tubuh militer Venezuela adalah pendidikan dan penguatan tradisi demokrasi yang diajarkan di Akademi Militer Venezuela, sejak negeri ini lepas dari penjajahan Spanyol.
Hal ini sangat berbeda dengan tradisi militer Indonesia. Cikal bakal TNI adalah pasukan-pasukan yang didirikan oleh kekuatan kolonial Belanda (KNIL) dan fasisme Jepang (PETA). Setelah program rasionalisasi tahun 1948, kedua warisan tradisi militer kolonial di atas kental terbawa hingga era Orde Baru.
Menurut Dita Indah Sari (2005), di samping intervensi politik, keterlibatan militer dalam bidang ekonomi, terutama sejak Presiden Soekarno menasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda di tahun 1957 (yang dikenal sebagai ‘Politik Benteng’), telah membuat sejumlah perwira TNI bertransformasi menjadi kapitalis bersenjata.
Kondisi ini tentu berperan penting dalam menghambat transformasi karakter positif ‘doktrin tentara pejuang’ yang diwariskan oleh revolusi nasional dalam tubuh TNI.
Berbeda dengan Venezuela, demokrasi liberal di Indonesia dalam sejarahnya tidak pernah menjadi tradisi dan prinsip politik dominan dalam kehidupan TNI.
Kekuatan-kekuatan sipil yang tampil dalam berbagai bentuk politik aliran dalam periode pasca kemerdekaan, menemui ajalnya di tahun 1965. Ruang politik bagi oposisi disumbat rapat, yang hanya mampu dijebol 32 tahun kemudian.
Reaksi balik yang drastis terhadap tentara pascajatuhnya Soeharto sedikit banyak telah memaksa TNI untuk melakukan koreksi atas doktrin dan praktiknya selama ini.
Namun proses ini selalu terhambat oleh keengganan para politisi sipil untuk menuntaskan problem-problem besar masa lalu yang bisa menjadi refleksi bagi agenda reformasi TNI.
Menurut Harnecker, pengaruh gagasan Simon Bolivar dalam pemikiran militer Venezuela amat kuat. Bolivar adalah tokoh yang paling legendaris dalam sejarah perjuangan rakyat Amerika Latin melawan kolonialisme Spanyol.
Bolivar selalu menyeru kepada militer dan rakyatnya tentang pentingnya persatuan Amerika Latin dalam melawan kolonialisme Eropa dan Amerika, dan mayakini bahwa demokrasi adalah sistem politik yang dapat memberi kebahagiaan tertinggi kepada rakyat.
Pejuang legendaris Amerika Latin ini juga menekankan, tidak boleh ada militer yang ingin menggunakan senjatanya untuk menentang rakyat. Gagasan ini, hingga kini masih dipegang teguh oleh militer Venezuela.
Seperti Bolivar, Panglima Besar Jenderal Sudirman sesungguhnya juga telah meletakkan fondasi kokoh bagi TNI sebagai tentara rakyat dan alat negara; sebuah doktrin penting yang menjadi dasar bagi pembentukan militer profesional yang menghormati prinisp demokrasi dan supremasi sipil.
Pengalaman Venezuela (dan Indonesia di masa revolusi) memberi kesimpulan pada kita, reformasi militer sangat bergantung pada seberapa besar demokrasi dihormati oleh semua pihak, termasuk oleh tentara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar